Minggu, 09 Oktober 2011

Endang Soekamti (bukan nama sebenarnya)



Perempatan jalan tanpa lampu merah menjadi sebuah bagian kehidupan yang dianugrahkan Allah kepada Endang. Perempuan berusia 30 tahun telah mengais ngais nafkah diantara asap asap polusi udara dan diantara mesin mesin bising jalan sejak sepuluh tahun yang lalu. Berbekal sebuah peluit yang bertengger  diapit kedua bibirnya, Endang meninggalkan segala identitas kewanitaannya, dan berjuang melawan terik matahari serta dinginnya malam sebagai pengatur arus lalu lintas tepat dipertigaan jalan menuju pasar burung Splendid.
                Disebuah malam yang syahdu, hanya lampu lampu kota bersinar serta kendaraan kendaraan berlalu lalang tidak pernah habis. Malam yang penuh pesona, menunggui manusia manusia pekerja keras seperti mbak Endang, sapaan akrabnya. Saya mencoba mendekatinya ditengah kesibukannya melambai lambaikan tangan kesana kemari, sambil sesekali memunguti uang seribuan yang jatuh dilemparkan kendaraan yang lewat. Akhirnya, mbak Endang digantikan oleh seorang kawannya. Mbak Endang mau meluangkan waktunya untuk berbagi cerita bersama saya ditepian jalan. Mbak Endang adalah sedikit potret kehidupan pekerja keras tanpa belas kasihan. Mbak Endang mempunyai latar belakang kehidupan yang cukup keras untuk membuatnya mampu tahan hidup dengan memunguti uang seribu-an perak yang jatuh dilemparkan oleh kendaraan kendaraan yang lewat. Semangatnya tak akan pernah henti untuk bekerja keras menghidupi kedua anaknya tanpa seorang suami. Kebutuhan yang membuatnya harus mencari celah, mencari nafkah  diantara kota Malang dengan segala titel yang melekat. Malang kota Bunga. Malang Kota Pendidikan. Malang Kota Ruko. Malang Kota Toko. Kalau melihat kehidupan Mbak Endang, baginya adalah Malang Kota Kemarau. Pekerjaannya itu seringkali dihakimi aparat sebelah mata. Dianggap rusuh dan tidak berguna, hanya karena tidak punya seragam. Apabila sudah ada rompi rompi polisi yang terlihat mendekat lokasi, maka Mbak Endang dan teman teman seperjuangannya akan melarikan diri, supaya tidak dihakimi seenaknya sendiri. Padahal mereka hanya mencoba mencari celah, mencari nafkah untuk menghidupi anak-anak dan diri tanpa suami, seperti kehidupan Mbak Endang pribadi. Mbak Endang mempunyai dua anak yang diurusnya seorang diri. Anak pertamanya sedang menempuh pendidikan tahun ketiga disekolah dasar, sedang anak keduanya masih berusia lima tahun. Pekerjaan dijalanan sehari hari mampu menghidupi dirinya dan kedua anaknya. Kalau beruntung, dalam satu hari Mbak Endang mendapatkan uang hingga 30.000 rupiah, namun jika nasib tidak mendukungnya, ia hanya mendapatkan uang tak memadai dan berharap esok hari lebih baik daripada hari ini. Prinsip hidupnya hanyalah mencari penghasilan yang halal, tanpa mengesampingkan moral dan tingkah laku tidak terpuji yang pernah ia pelajari sewaktu sekolah dasar. Setamat bangku sekolah dasar adalah tali pemutus dirinya dengan pendidikan, setelah pergaulan membawanya kepada jalanan, ia semakin paham betapa kerasnya jalanan, seperti mengamen di alun alun, hingga todongan preman yang merampas hasil kerja kerasnya. masa remajanya benar benar diabdikan untuk kehidupan jalanan. Harapan Mbak Endang hanyalah dapat menghidupi anak anaknya agar nasib baik melimpah untuk kehidupan kedua anaknya, agar anak-anaknya tak perlu meniru kedua orangtuanya yang menjalani kehidupan dengan keras.

              Mbak Endang adalah sosok yang menabjubkan. Inspirasi Kartini. Manusia yang masih mempunyai hati mulia, masih bekerja keras tanpa malu dan berusaha sekuat tenaga untuk menantang nasib kurang baik yang memburunya. Kerja keras itulah yang membuat Mbak Endang dapat berdiri dengan ruh kedua kakinya sendiri. Tekadnya untuk membesarkan anak anaknya secara layak tanpa memperdulikan bagaimana keluarganya sering memandang kelayakan pekerjaannya secara sebelah mata. Prinsip kerjanya selain memprioritaskan kebaikan sumber penghasilan dan kehalalan adalah tidak mencuri. Kaum marjinal sekalipun memiliki akhlak dan pikiran yang lapang untuk sekedar tahu betapa buruknya hasil mencuri itu, bagaimana mungkin fenomena politik dan korupsi di negeri ini tak cukup mengerti bahwa mengambil yang bukan haknya adalah sebuah keburukan? sampai saat ini, mereka tak juga sadar rupanya. Terlalu memprihatinkan untuk membandingkan kehidupan rakyat pinggiran dengan masyarakat penghuni rumah gedongan. Seringkali, Mbak Endang ingin memikirkan pekerjaan yang lebih layak, agar kelak kedua anaknya juga tidak terlalu nelangsa melihat ibunya berada dijalanan, namun apa mau dikata, terlalu banyak alasan tentang keuangan yang membuat Mbak Endang belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan sirkulasi kebutuhan yang seringkali tidak terduga. 
                Mbak Endang adalah salah satu dari sekian juta Maryamah binti Zamzami  yang mempunyai kehidupan tidak mudah. Entah dengan apa masyarakat yang upahnya sudah diatas standar UMK (Upah Minimum Kerja) dapat memaknai kehidupan lebih bijaksana dengan melihat potret kehidupan Mbak Endang. Peran yang tidak mudah sebagai Mbak Endang. Berdiri berjam jam dengan sepenggal semangat untuk hidup diantara polusi udara serta polusi suara adalah pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang cermat untuk dipertimbangkan,  tanpa gelar pun, pemerintah kota hanya butuh memberikan mereka rompi agar sejajar dengan komandan penertiban lalu lintas, agar celah mereka tidak ditutup dengan pelarian diri bersembunyi di gang gang sempit atau sampai Splindit. Semoga kehidupan mereka tetap bermanfaat bagi lingkungan, semoga keberadaan mereka segera diakui sebagai anugrah bukan sebagai berandalan. Semoga Mbak Endang dan teman temannya dapat berjuang untuk apa yang mereka perjuangkan serta mendapatkan hak haknya sebagai manusia pancasila.(avz melaporkan dari tempat kejadian)
*tugas laporan, kasih nilai ya hahaha
*foto menyusul