Suatu hari menikahlah Roro Anteng dari kerajaan Majapahit dengan seorang keturunan Brahmana, Joko Seger. Hidup bertahun-tahun, tidak membuat pasangan ini dikaruniai anak sehingga mereka bermuram durja. Kemudian Roro Anteng dan Joko Seger melakukan semedi di gunung untuk mendapatkan anak. Munculah sebuah suara dewata yang akan mengabulkan permohonan Roro Anteng dan Joko Seger, dengan syarat anak terakhir harus dikorbankan di kawah Gunung.
Tak lama berselang, jawaban doa atas dewa menjadi nyata. Roro Anteng akhirnya mengandung juga. Tahun demi tahun berlalu, tidak hanya satu dua anak yang dilahirkan oleh Roro Anteng, namun anak mereka mancapai 25 orang. Maka, anak ke 25 bernama Raden Kusuma yang harus dikorbankan di kawah Gunung. Tetapi Roro Anteng dan Joko Seger tidak juga tega menjadikan anaknya korban, mereka sekeluarga mencoba lari menjauhi kawah gunung. Namun, dewata terlanjur marah dan akhirnya mengeluarkan lidah api guna mengambil paksa Kusuma untuk dijadikan korban.
Roro Anteng dan Joko Seger tentu saja sangat sedih, tetapi Kusuma ikhlas menjadi korban demi kebahagiaan keluarganya. Kusuma hanya berpesan untuk selalu dikunjungi dengan membawa sesembahan di tepian kawah gunung pada pertengahan bulan Kasada. Bulan Kasada dipilih, konon karena Kasada adalah bulan terakhir dalam penanggalan kepercayaan mereka. Begitulah kemudian berawal dari keluarga Roro Anteng dan Joko Seger melakukan ritual mengucap syukur, selanjutnya tahun demi tahun hal tersebut diikuti oleh keturunan anak cucu hingga ribuan tahun menyusuri segala zaman.
***
Kota Malang memang sedang sensitif karena sering bersuhu ekstrim, walaupun wajahnya sering dingin, Dia tetap cantik se-menawan Drupadi. Kemolekkan bagian-bagian tubuhnya sedang dipertontonkan indah se-indah Dewi Sri. Daya tariknya begitu kuat dapat menghadirkan ide-ide cemerlang se-cemerlang Nyai Ontosoroh.
Malam itu kami berniat mencari rupa-rupa Drupadi, Dewi Sri maupun Nyai Ontosoroh dalam beberapa sisi alam Kota Malang. Sejumlah 8 armada sepedah motor (semoga tidak salah) dengan komposisi 10 laki-laki dan 6 perempuan melaju kencang di atas aspal pukul 11 malam pada 3 Agustus 2012 menuju gunung Bromo, melalui jalur keberangkatan daerah Lawang.
Menuju Lawang, kami masih dapat melaju dengan kecepatan Super Sonic mengingat jalanan hanya didiami lampu-lampu kuning yang menerangi malam. Tubuh sudah mulai beradaptasi dengan suhu yang dingin.
Sambutan dingin yang luar biasa.
Nongkojajar |
Pertigaan Nongkojajar menjadi gerbang menuju jalan aspal yang meliuk-liuk. Sepanjang perjalanan melewati rumah-rumah dengan penghuni yang telah lelap tertidur. Jalanan masih mulus dan cukup sepi, kami masih cukup leluasa berlari-lari dengan mesin yang kami tunggangi.
Beberapa medan yang kami lewati bervariasi. Perjalanan menuju keindahan yang kami yakini memang membutuhkan pengorbanan. Dengan sirkuit yang berkelok-kelok, kendaraan kami kukuh melenggang menyusuri desa demi desa dihubungkan dengan sawah ladang maupun hutan belantara, di atas kondisi aspal yang beraneka ragam. Selalu hati-hati dalam berkendara, pastikan berkendara dengan suka cita, rileks dan bernyanyi-nyanyi jika perlu untuk menghindari ketegangan urat syaraf maupun kantuk yang mewabah. Waspada! Beberapa armada sepedah dari kami ada yang hampir masuk jurang lho.
Kami memang anak muda yang lantang berkacak pinggang membelah malam. Begitulah kondisi fisik medan yang kami lewati tidak menyurutkan langkah kami, keadaan aspal terkadang mulus-mulus saja. Namun, bertambah dekat dengan kawasan Gunung, jalan aspal semakin tidak terawat, lubang disana-sini. Sebaikya kurangi kecepatan terhadap tikungan tajam dengan kemiringan yang cukup ekstrim. Akhirnya, perjalanan menanjak membawa kami menuju ke dataran yang lebih tinggi dengan suhu yang makin membuat tubuh menjadi beku.
Perumahan warga yang sepi, pasar yang sedang istirahat, pohon-pohon tinggi, dusun-dusun yang disekat sawah dan ladang, penginapan-penginapan di lahan terasiring, warung-warung yang masih meladeni pelanggan, kami melewatinya dengan senang hati. Semakin menuju kawah gunung Bromo, semakin terasa euphoria momen wisata alam dengan kesempatan merasakan ke-sakralan serangkaian upacara Kasada yang menjadi daya tarik malam ini.
di Pos Perijinan |
Kami sampai di daerah Wonokitri dengan tidak seorangpun kurang diantara kami (Alhamdulillah). Pukul 2 dini hari kami tiba di di pos perijinan. Kami menjadi pengunjung gunung Bromo yang mungkin ke-sekian ribu, terbukti dengan suasana yang cukup meriah, banyak sekali armada-armada sepedah motor yang berjubel untuk membeli karcis seharga 6000 rupiah per armada sepedah motor. Dapat dibayangkan berapa keuntungan yang diraup dalam satu malam tersebut, semoga keuntungan tersebut dapat dikelola dengan bijaksana baik oleh pemerintah maupun kearifan penduduk lokal.
Tidak lupa, barang-barang dagangan seperti sarung tangan, syal, serta perlengkapan yang menawarkan kehangatan lainnya dijajakan oleh orang-orang lokal. Orang-orang lokal tegar yang wajahnya timbul gurat-gurat cadasnya kehidupan, secadas medan menuju kawah Gunung Bromo, masih tegap berdiri menyandang selempang sarung motif kotak-kotak dengan menjajakan aneka ragam dagangan. Berharap dapat untung beberapa ribu rupiah saja, setelah semalaman menawarkan kepada turis-turis sosialita seperti kami. Mereka memang begitu tangguh dan tidak kenal lelah, siapa tahu mereka masih begitu sabar mencari rupiah di sepanjang malam setelah sepagian memanen padi dan sayur mayur di sawah ladang.
Gapura selamat datang serta ombol-ombol berkibaran di sepanjang jalan menyambut kami. Ombol-ombol tentang ‘Yadnya Kasada’ dibubuhi sponsor rokok yang mejeng dengan tulisan yang tidak kalah besarnya. Desain marketing yang sudah sering kita jumpai di jalan-jalan. Warung-warung berjejer ramai, sebelum akhirnya kami berada di Puncak Penanjakan dengan ketinggian 2770 mdpl. Di puncak penanjakan tersebut kami melihat sajian pemadangan yang sangat menarik, kabut-kabut putih itu menjadi sekat pucuk-pucuk gunung yang meyembul tidak tahu malu. Kami pun siap menyelami kabut dibawah sana.
Laut pasir yang bikin bokong berdisko |
Malam menjadi pekat, Kabut turun dan dingin yang menusuk menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jalan curam menurun berbatu-batu betul-betul rawan jika tidak diimbangi dengan kemampuan berkendara sepedah motor yang memadai. Butuh keahlian menjaga keseimbangan dan manajemen kontrol laju roda sepedah, karena dikhawatirkan ban sepedah yang tidak cukup fit melewati medan yang sedemikian cadas, menjadi taruhan nyawa dan keselamatan bagi pengendaranya.
Setengah jam berlalu, jalanan landai merileks-kan tubuh yang lumayan tegang oleh medan menurun curam. Tidak lama kenikmatan itu berlangsung, kami kembali diadu di atas daratan pasir di sepanjang mata memandang. Sepedah motor manapun akan bertitel tangguh jika telah melewati serangkaian perjalanan ini. Tidak hanya kemampuan mesin yang diuji, kemampuan berkendara sang petualang macam kami juga harus bernyali tinggi, penuh kesabaran dan tidak mudah menyerah. Jangan menyerah untuk terus mencoba memutarkan roda sepedah diantara lautan pasir dengan varian kontur naik turun serupa kurva sinyal internet wifi MAN 3 Malang. Tidak heran, di beberapa waktu kami harus mendorong sepedah dengan sekuat tenaga, sambil ngos-ngosan mengingat oksigen di udara yang makin menipis.
Pelataran Poten |
sudah di dalam Pura |
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, roda-roda kami mulai mendekati keramaian pasar malam di ujung sana, telinga-telinga kami disambut suara-suara gamelan. Kami tiba di pelataran Poten atau Pura di lautan pasir. Berbagai macam kendaraan bermotor ini mendahului kami, berjejer-jejer memadati pasar malam yang juga tidak berhenti dimanfaatkan menjadi kegiatan ekonomi.
Selingkaran purnama terpaut di langit-langit biru tua. Kami menyusup diantara prosesi upacara yang bernuansa sakral. Di dalam pura ramai dipadati masyarakat yang beribadah, penduduk lokal kelelahan yang menggelar tubuh diatas sarung tipis, turis-turis yang lalu lalang jepret sana sini mengabadikan momen. Dukun-dukun meramu sesajen, beradu dengan asap dupa, bunga-bunga maupun mantra-mantra.Gamelan serta gending-gending tidak berhenti berdenting. Semua komponen di dalam sana cukup sibuk. Barangkali dewa-dewa yang hadir pada serangkaian upacara Kasodo ini juga sibuk melayani umat-umatnya, yang menurut data statistik penduduk suku tengger berjumlah 500 ribu jiwa.
Ritual Sahur |
Kami menepi, mencoba mengurus diri sendiri. Mengingat kami bepergian di bulan Ramadhan, maka kami harus konsekuen, berusaha tidak menjadikan selingan hidup ini, sebuah penghalang kewajiban kami sebagai umat muslim. Kami buka bungkusan sahur dan tidak lupa menjerang air hangat. Ditengah-tengah ritual sahur kami, tiba-tiba keadaan menjadi hening. Sang dukun juga menjalankan ritual, yaitu pembacaan kisah Roro Anteng dan Joko Seger dalam format bahasa Indonesia. Kemudian disusul bahasa yang tidak kami mengerti, semacam mantra-mantra wes ewes yang dikatakan dengan kilat. Konon, nama suku Tengger ini diambil dari suku kata terakhir pasangan bahagia tersebut.
Pembacaan mantra wes ewes dengan timbal balik umat yang mengatakan sesuatu yang tidak kami mengerti—mungkin nadanya seperti umat muslim mengatakan ‘aminnnnn’ usai pembacaan surat alfatihah oleh imam sholat—menurut sumber literasi, hal tersebut merupakan pengesahan dukun baru yang mempunyai masa jabatan selama satu tahun. Pengesahan dukun menjadi tanda bahwa ritual arak-arak-an ongkek (sesajen) menuju kawah gunung Bromo dimulai. Gending-gending berdenting dan gamelan kembali mengiringi sesembahan menuju kawah gunung Bromo.
Dupa, Bunga dan Mantra |
Menyiapkan sesajen |
Ciprat ciprat air suci |
Sekitar pukul setengah lima kami berbenah, mengemasi alat-alat masak dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, kami pun juga harus beribadah, menunaikan ibadah sholat subuh. Kami pantau cahaya kuning kemuning yang berarak naik menuju kawah gunung Bromo, sedangkan di seberang sana bulan hinggap malu-malu berpamitan akan menenggelamkan diri dibalik gunung Batok.
Seusai sholat subuh, kami menyusul arak-arakkan menanjak menuju kawah gunung Bromo. Kami tidak sendirian. Lautan manusia memadati sepanjang perjalanan menuju kawah gunung. Turis dan penduduk lokal berbaur menyatu, bedanya penduduk lokal dengan dandanan khasnya membawa saju-sajian yang akan dilabuhkan di bibir gunung Bromo, sedangkan turis seperti kami membawa tustel dan sibuk berfoto ria ditengah keramaian. Pemandangan antaraTua bangka muda belia melabuhkan sesajen merupakan keindahan tersendiri yang tidak dapat terlewatkan. Wajah-wajah penduduk lokal ini kemerahan dengan senyum kebahagiaan.
Pasir gunung Bromo makin menebal dan tangga menuju kawah juga makin tenggelam akibat letusan gunung Bromo beberapa waktu yang lalu. Tapi lautan manusia ini tidak berhenti merayapi punggung gunung Bromo hingga mencapai bibir kawah yang menganga.
Matahari Terbit |
Sekali berarti, sesudah itu mati |
Matahari terbit di ufuk timur menyembul perlahan, lautan manusia itu seperti serentak berhenti berjalan dan hanya memerhatikan momen istimewa tersebut. Cahanya lamat-lamat tumpah menggeserkan langit yang semula gelap menjadi kebiru-biruan. Tidak ada yang tahu apa nasib waktu. Tidak ada yang tahu bagaimana langit menyimpan seribu misteri serta menyekat kehidupan manusia dengan kehidupan dewa-dewa.
Dari kiri arah jarum jam: 1) aneka bunga 2) pisang dan dupa 3)ayam 4) pisang dan dupa |
Euphoria pelataran Poten |
embah2 yang masih turun ke kawah |
masyarakat memungut sesajen sampai ke tengah kawah |
Matahari ini seeksotis Drupadi, Dewi Sri, dan Nyai Ontosoroh. Wajah matahari pagi ini, yang kami saksikan di punggung gunung Bromo benar-benar berkharisma rupa legenda dan kisah perwayangan.
Kaki kaki kecil manusia merayapi punggung Bromo |
Kami beserta ratusan atau bahkan ribuan orang lainnya cukup beruntung masih dapat berwisata ke segala arah. Menikmati sisi sisi bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Berdekatan dengan orang-orang yang masih memanggul adat sedemikian bijaksana. Kiranya, manusia-manusia Indonesia tidak begitu bobrok amat, selama masih dapat berkawan dengan alam, menjaga kelestariannya, dan belajar dari setiap sisi menuju keindahan yang disajikannya.
pose pose pose :D |
Puas berofoto-foto ria di berbagai latar dengan beraneka pose pula, pada pukul setengah delapan kami siap menunggangi sepedah motor dengan gagah. Mengucapkan selamat tinggal dengan sebongkah senyum, tidak lupa berterimakasih banyak atas segala siraman keindahan yang dapat kami bawa pulang.
Kami pulang melewati jalur Tumpang. Melewati medan dengan konstruksi tanah yang tidak jauh berbeda dari kami berangkat. Pasir. Pemandangan kanan kiri benar benar indah. Padang savana serta ukiran putaran roda-roda tangguh yang meninggalkan jejak perjalanan. Langit biru sekali bergradasi dari warna-warna muda bercampur cat minyak warna kuning matahari. Awan putih melintang membelah-belah potongan langit.
Wushh |
Diakhir perjalanan, beberapa dari kami mulai kelelahan. Jatuh bangun dari sepedah motor, namun beruntung, tidak ada yang terluka dan kami sampai di Masjid Alfalah pada pukul sebelas siang dengan selamat, sehat walafiat.
Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Untuk belajar tentang bumi mana yang sedang kita pijak, jangan lupa tengok kolong langitnya. Sebuah keberuntungan besar menjadi bagian dari Indonesia, ibu bumi pertiwi masih bersedia menghibur duka lara anak-anak mudanya supaya esok hari masih dapat berlari tiada henti. (avezahra)
nb: foto dan tulisan sudah dilengkapi. silahkan dinikmati :)
nb: foto dan tulisan sudah dilengkapi. silahkan dinikmati :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar