Rabu, 03 Agustus 2011

Di Puncak Mahameru, Jangan Lupa Turun!!

“ Selamanya, kita tak akan berhenti mengejar matahari “

Yang pasti dari sebuah perjalanan bukan hanya peristiwa mengumpulkan epik-epik berupa mental, jati diri siapa kita, tapi juga tentang cinta kepada Tuhan, Alam, Persahabatan, doa dan mimpi yang besar.

Sebelas Pendekar Angling Dharmo - Semeru Dewata

Hari itu, Rabu, 20 Juli 2011. Pagi itu cuaca cerah dengan atmosfer udara yang dingin mengumpulkan kami bersama dalam suasana hingar bingar ekspedisi Puncak Mahameru dengan penuh spirit dan sedikit ambisius. Pukul 07.00 WIB, kami berkumpul di pelataran Masjid Al-Falah, Jl. Bandung, yang sengaja kami gunakan sebagai meeting point  tanpa izin terlebih dahulu ke Remas Masjid Al-Falah J. Kali ini, setelah mekanisme yang sedikit dingin, akhirnya terkumpullah 11 personil dengan komposisi 9 lelaki kekar dan 2 wanita tegar, sama seperti tahun lalu. Setelah dirasa 9 personil sudah lengkap, dan sekian lama berkemas-kemas, berangkatlah kami menuju Terminal Arjosari. Di sini, kami juga bertemu dengan 1  kawan baru kami, yang telah sampai dahulu di Terminal Arjosari.


PASAR TUMPANG

Dari sini, kami naik angkot menuju Pasar Tumpang, yang memang digunakan sebagai pos registrasi pendakian I, untuk menuju kawasan TNBTS ( Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ). Di sini jugalah, tempat Jeep mangkal untuk bersiap mengantar para pengunjung yang berwisata ke kawasan TNBTS, terutama Semeru. Di sini, kami menunggu agak lama karena kami juga sedang menunggu kawan baru kami yang belum datang.

Sekitar 1 jam, akhirnya teman kami datang, dan langsung saja kami bernegoisasi dengan petugas jaga dan supir Jeep untuk segera berkemas berangkat. Diangkutlah satu-persatu Carrier Bag yang besar-besar dan cukup berat tersebut ke atas Jeep, ditumpuk sedemikian rupa dan ditemali dengan rapat. Untuk biaya sewa Jeep dikenakan dan dipukul rata Rp. 450.000 sekali jalan. Dan, memang kebersamaan itu menyenangkan. Volume Jeep bisa di penuhi sekitar 15 orang. Jadi, per orang dikenai biaya Rp.30.000. Lumayan kan? Hehehe
Titik Tolak Pemberangkatan : Pasar Tumpang
Suara mesin Jeep menderu-deru di antara gelak tawa dan lelucon-lelucon kami. Sambil sesekali terdiam, terpana melihat pemandangan alam kiri kanan yang mengkombinasikan komposisi dan estetika natural yang sempurna. Tidak lama, kami sampai di Gubuk Klakah. Tepatnya di Dinas Kehutanan Pengelolaan Wilayah TNBTS. Di sinilah keperluan administrasi dan keperluan prosedural yang penuh birokrasi di geber. Menurut cerita, Banyak pendaki yang naik darah di sini. Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, kami mengurusi tetek-bengek prosedural tersebut, dan akhirnya kami dapat mengantongi izin yang dibungkus dalam amplop coklat. Bergegaslah kami melanjutkan perjalanan. Di harapkan pada kamu untuk bersiap dahulu mencari info tentang detail persyaratan prosedur sebelum akhirnya repot dan terganjal beberapa lama di sini.

Registrasi Perizinan Pendakian 







 Adapaun persayaratan Pendakian adalah sebagai berikut : ( langsung dari sumber :P )


Rincian biaya administrasi yang dikenakan pada kita antara lain :
1. Surat Izin masuk @ Rp.2.500,-
2. Biaya Asuransi @ Rp.2.000,-
3. Charge / Karcis Pengambilan Gambar @ Rp.5000,- per kamera. 

KAWASAN BROMO – BUKIT TELETUBBIES

Seperti biasa, Supir Jeep selalu memberhentikan pengunjung, di tengah perjalanan. Ketika telah sampai di areal Bukit Teletubbies. Dari sini kita bisa melihat eksotisme lautan pasir dan bebukitan Gunung Bromo. Tidak mungkin satu dari kalian tidak akan terkagum-kagum dengan pemandangan yang disajikan di sini. Kami terheran-heran karena memang, di antara bebukitan Bromo yang molek tersebut, ada beberapa yang menyerupai  Teletubbies, boneka yang empuk dan menggemaskan seperti yang kita lihat Di Televisi.

Kawasan Bromo - Bukit Teletubbies
RANU PANE

Sekitar 15 menit sudah, kami akhirnya melanjutkan perjalanan ke timur lagi mencari kitab suci *lho. Menuju pos pendakian I, Ranu Pane yang juga merupakan sebuah danau di atas gunung. Mulai dari sini, akses pendakian hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Memecah belantara Landongan Dowo yang di dominasi pohon-pohon Akasia besar. Kadang kalau beruntung kita bisa lihat monyet sepanjang perjalanan ini. Dengan penuh semangat, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Ranu Kumbolo. Danau di atas ketinggian 2300 dpl, yang tak kalah indahnya dengan kawah putih Ciwedey, Bandung. Di sana, kami akan mendirikan camp, beristirahat untuk kemudian besok paginya melanjutkan lagi ekspedisi menuju Kalimati.
Pos I Ranu Pane
RANU KUMBOLO

Kami berjalan dengan cukup cepat. Sepertinya manajemen istirahat kami sedikit terjalankan dengan baik. Sehingga, setiba di Ranu Kumbolo kami tidak terlalu malam. Setidaknya, kami masih ada waktu untuk memandangi sungai bintang dan rembulan di gelap langit. Suhu udara di Ranu Kumbolo sangat dingin, mungkin malam itu kisaran suhu sekitar 8-10 derajat Celcius. Untunglah, karena lelucon gila dan mekanisme panas setelah kami berjalan jauh masih terasa efeknya.
Siluet Sunrise Ranu Kumbolo

Perlahan siluet pegunungan Tengger di ujung Ranu Kumbolo pun terlukis dengan kombinasi merah, kuning dan birunya. Tanda pagi akan segera tiba. Tanda perjalanan akan segera dilanjutkan kembali. Setelah sibuk mengisi stamina dengan makanan siap saji dan minuman hangat dari kawan kami, kami pun segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke kaki Gunung Mahameru. Kalimati. Di sana kami akan mendirikan camp lagi, sampai nanti dini harinya mempersiapkan diri untuk mencumbu lautan pasir Mahameru.
Antara Mitos dan Preketek : Tanjakan Cinta :D
Pukul 10.00 WIB. Setelah dirasa sudah siap, kami bergegas menaiki Tanjakan Cinta. Tanjakan Cinta merupakan track yang menanjak dan cukup tinggi. Kalau percaya mitos, ketika kamu jalan sampai atas tanpa menoleh ke belakang dan tidak berhenti sama sekali, maka orang yang kamu cintai bakalan langgeng. Dan, mungkin itu hanya semacam motivasi biar kita gak lama-lama berhenti di sana. Semacam preketeklah. Hahaha.

ORO-ORO OMBO – CEMORO KANDANG

Padang Savanna Oro-Oro Ombo Sebagian Gosong Terbakar
Sayang beribu sayang, sebenarnya setelah kita sampai di balik Tanjakan Cinta ini ada spot pemandangan menakjubkan. Mungkin, kamu akan berpikir ternyata padang savanna tidak hanya di Afrika. Ya, Oro-Oro Ombo. Padang rumput yang luas akan terpampang di hadapan kita setelah bersusah payah mendaki Tanjakan Cinta. Sayangnya, tahun ini hampir separuh lahan dimulai dari Tanjakan Cinta sampai separuh hektar Oro-Oro Ombo, habis terbakar. Entah, pembakaran ini di sengaja, atau mungkin juga kecelakaan. Kami tidak tahu. 

Kami terus saja berjalan ke bawah, membelah padang savanna ini hingga sampailah kami  di 2 pohon tinggi yang membentuk semacam pintu gerbang memasuki belantara hutan. Ya, inilah yang disebut Cemoro Kandang. Hutan Tropis dan lebat dengan beberapa vegetasi tumbuhan beraneka macam. Ketika kamu berjalan sore hari menjelang malam di daerah hutan akan selalu menimbulkan bau yang khas. Beda tipis dengan bau badan/kentut. Maklum, malam itu waktunya tumbuhan berfotosintesis dan menyerap banyak karbon dioksida yang kita keluarkan.
Gerbang Cemoro Kandang
  JAMBANGAN

Tidak lama kemudian kami mulai perlahan keluar dari rimbanya hutan. Bersamaan dengan itu, kabut di atas langit perlahan menghilang dan mulai mempertontonkan kegagahan Puncak Semeru, Puncak tertinggi di seluruh dataran Jawa. Begitu dekat, misterius dan seperti halusinasi. Hal ini semakin membuat teman-teman bersemangat. Karena terlihat dari frekuensi dan ritme jalan yang semakin terbakar.
Jambangan dan Mahameru di Balik Awan
Jambangan merupakan kawasan semacam Lembah Mandalawangi. Di penuhi dengan vegetasi tumbuhan tunggal berdiri berkelompok-kelompok. Ada beberapa kelompok vegetasi yang berdekatan dan membuat semacam pintu masuk ke areal vegetasi tersebut. Jika dilihat dari jauh, terkesan mereka menyembunyikan sesuatu di balik mereka yang tumbuh berkelompok. Misterius.
KALIMATI

Setelah lama saling diam, terlihat kawan-kawan sudah mulai tersenyum dan bersemangat. Hingga sekitar pukul 02.00 WIB, kami sudah sampai di Kalimati, di kaki Puncak Mahameru. Kami memilih spot di bawah pohon-pohon besar untuk mendirikan camp karena lebih terasa beraroma petualangan daripada di shelter ( pondok pendaki ) yang sudah dibuat di sana. Semua segera bersiap dan saling berkemas mempersiapkan kondisi fisik dan mental agar dini hari nanti tidak terjadi kendala, untuk menaklukkan Puncak Mahameru yang gagah.
Sampai di Kalimati, Kaki Gunung Mahameru

Di saat semua tertidur, beberapa kami berjalan-jalan ke daerah Kalimati karena penasaran. Kalimati merupakan daerah yang dilalui lava, lahar Semeru yang meletus sekitartahun 1994 hingga membentuk cetakan sungai besar yang kering. Hanya terdapat sedimen kerikil dan bebatuan berwarna merah dan ringan.

ARCOPODO – KELIK

Malam mulai datang. Riuh rendah kami mulai sibuk menghangatkan diri, mendekat mengelilingi api unggun. Saling bercengkrama, membicarakan apapun, yang terlintas di kepala. Api unggun memang selalu jadi saksi dan ajang untuk mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya, sekitar pukul 19.30 WIB, kami memutuskan segera beristirahat.


Hari sudah berganti, jam menunjukkan pukul 01.00 WIB, tanda kami harus segera bangun. Setelah mendapat asupan beberapa makanan ringan dan minuman hangat, kami berkumpul dan saling berdoa agar di beri kelancaran dalam perjalanan menuju Puncak Mahameru. Terlihat wajah-wajah teman yang kuyu, menahan tawa, menepis rasa takut, menahan dingin dan lain-lain bercampur jadi satu. Kami berangkat dan perlahan melintasi vegetasi hutan lebat menuju pos Arcopodo. Jalan sepanjang menuju Arcopodo ini memang banyak terdapat jalan. Mungkin ini yang banyak membuat pendaki lain bingung, tersesat dan akhirnya terperosok ke dalam Jurang yang curam di bawah.

Pos Terakhir Pendakian Mahameru ; Arcopodo

Kami tidak sendiri, kami mendaki beramai-ramai dengan pendaki dari Bandung, Surabaya dan lain-lain. Dalam kondisi udara sekitar 5 derajat, satu teman wanita kami pingsan di tengah perjalanan. Mungkin, karena dingin, kekurangan oksigen dan persiapan fisik yang belum mendekati baik. Setelah sejenak berusaha ditangani, akhirnya dia terbangun. Kami menyarankan segera buang air kecil, jangan ditahan. Dan, mempringatkan satu sama lain agar jangan sampai tertidur ketika istirahat. Cerita-cerita pendaki lain tentang kejadian Kelik tentang serangan Hypotermia sedikit membuat bulu kuduk kami berdiri.


Kami terus berkelebat dan memecah dalam rimba petang malam. Hingga, sesampainya di Pos Arcopodo kami sedikit tercengang lagi, karena pendaki-pendaki lain turun dan memberhentikan kami karena sedang ada badai pasir di atas. Terbersit asa, tapi kembali kami optimis. Selang, 20 menit kemudian, kondisi sudah membaik. Kami melanjutkan ke pos terakhir, Kelik. Suhu sangat dingin, berkabut, dan angin bertiup cukup keras. Kami masih optimis.


BLANK 75 - LAUTAN PASIR

Terlihat semua pendaki menciptakan sebuah solidaritas kebersamaan dalam perjuangan ini. Mungkin, semacam patriot `45, rekan seperjuangan hidup dan mati. Kami semua berhenti di kawasan terakhir sebelum track lautan pasir yang akan kami hadapi kali ini. Kami memutuskan semua pendaki sudah sampai selamat dan tidak ada yang tergelincir di Jurang yang dikenal sebagai Blank 75. Ya, jurang yang curam menganga di kiri kanan dengan ketinggian 75 meter, seakan mempersiapkan mulut taringnya di bawah. Dan, untunglah tidak terjadi apa-apa, semua pendaki sudah sampai di areal terakhir, dan tinggal selanjutnya mengarungi track jalan menanjak, berpasir dan berbatu. Dengan kabut yang cukup tebal, membuat keterbatasan dalam pandangan.

Gelegak Lautan Pasir Bukan Halangan
Hingga di hampir seperempat lebih jalan, sahabat wanita kami memutuskan menyerah dan kembali ke Kalimati. Dengan kebesaran hati, sahabat baru kami juga akhirnya bersedia mengantarkannya kembali ke Kalimati. Kami tinggal bersembilan, dengan satu wanita. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00. Hanya ada waktu 2 jam, karena gas beracun dari Jonggring Seloka banyak tersapu angin kea rah puncak pukul 10.00. Kami terus merangsek, mencoba lagi membuat frame mimpi-mimpi kami agar terus kuat. Bersama kami bahu-membahu, saling memotivasi, saling tersenyum dan perlahan kami sudah mendekati ketinggian 3670 dpl.

MAHAMERU – JONGGRING SELOKA


Tepat hari itu Hari Jumat, 22 Juli 2011. 6 Meter lagi kami sampai. Menunggu satu sama lain, bersama-sama berjalan ke dataran puncak tertinggi di Jawa ini. Tidak ada haru-tangis, tidak ada upacara, seremoni. Tidak ada euphoria. Kami saling sibuk mengabadikan peristiwa dan diri, sibuk berjabat tangan, dan saling tenggelam dalam kebingungan masing-masing. Entah yang jelas, di bawah kami ada gumpalan awan-awan yang sering kita lihat dari kota. Yang, jelas kami bersembilan entah bermimpi atau tidak sudah menginjakkan kaki di Puncak Gunung Tertinggi ini. Seorang Ibu, menerima kembali anak-anak pertiwinya bersandar di pelukannya yang menyimpan rindu. Awwenaaak ;D

22 Juli 2011 : Puncak Mahameru
Mungkin kami bersembilan gak punya kata-kata yang menggambarkan secara persis apa yang kami rasakan saat itu. Yang jelas,  jangan berhenti terus mengejar matahari, juga jangan lupa turun!!

Kawah Jonggring Seloka

Jonggring Seloka di sana sudah mulai berkontraksi dan mengeluarkan “wedhus gembel” beracun berwarna merah keputihan. Jangan ke enakan di atas, Ayo lekas Turun!! :)

Journal : eurazmy

3 komentar: